berita

SEJARAH

Menurut Umi Soka atau Aki Soka sebagai saksi sejarah Babakan Anyar yang masih mengetahui persis riwayat desa ini. Ia konsisten pada pendirian dan keinginannya untuk tetap mempertahankan nama Babakan Sinom daripada nama Babakan Anyar. Memang pada mulanya desa ini bernama Babakan Sinom, terdiri atas tiga “kota” atau blok, yaitu Babakan Sinom, Pasanggrahan dan Dayeuh Kolot. Babakan Sinom adalah daratan yang jauh dari sungai Cilitung dan Cimanuk. Sedangkan Pasanggrahan merupakan kota terbesar di,Kadipaten pada saat itu, yang persis berada di samping sungai. Pasanggrahan adalah pelabuhan utama perahu-perahu niaga. Pasanggrahan juga sebagai pelabuhan bagi arus distribusi gula. Hasil produksi PG. Kadipaten

Di distribusikan melalui sungai Cimanuk dan Cilitung, melalui Indramayu ke pantai utara jawa dengan tujuan Batavia (Jakarta). Pada saat pelabuhan pasanggrahan dikuasai oleh Ko Pek Lan atau Babah Pek Lan. Ia adalah penguasa Cina yang menguasai Kadipaten. Ko Pek Lan melakukan kongsi dengan koleganya Eng Kit mengatur perdagangan di Pasanggrahan. Kekuatan ekonominya mengalahkan kekuatan Belanda dalam mengendalikan alur bisnis produksi gula. Maka Ko Pek Lan hadir sebagai pengusaha yang memberikan suntikan dana untuk Pabrik gula. Transaksi perdagangan pada waktu itu tidak menggunakan uang goeng atau uang logam tapi uang kertas. Kota Pasanggrahan akhirnya dikuasi oleh warga Cina pendatang. Mereka jadi penguasa ekonomi, sementara warga desa menempati Blok Dayeuh Tarikolot. Oleh karena terjadinya perubahan struktur geologi tanah, akhirnya kota Pasanggrahan terendam. Seluruh warga kota Pasanggrahan mengungsi. Begitu pun dengan warga Dayeuh Tarikolot yang sama-sama terkena imbas luapan air sungai terpaksa mengungsi. Mereka membuka lahan baru untuk permukiman, yaitu Babakan Baru atau tempat permukiman baru. Mereka menempati kampung baru Babakan Sinom. Babakan Sinom memiliki warga baru dengan jumlah banyak. Akibatnya muncul-muncul nama baru (Anyar) untuk Babakan Sinom yaitu Babakan Anyar. Akhirnya Pasanggrahan dinyatakan sebagai The Lost City atau kota yang hilang. Terlebih lagi setelah dibangunnya dan rentang Jatitujuh, tidak ada lagi perahu-perahu dari Indramayu yang bisa masuk ke wilayah ini.

Apalagi setelah munculnya kendaraan-kendaraan bermotor, lalu lintas ekonomi di sungai menjadi tidak berarti lagi. Pengangkutan barang seperti garam, gula, padi dan tebu dialihkan ke jalur darat. Peran para pengusaha China pun ikut luntur. Mereka banyak yang beralih profesi menjadi pedagang di Teluk Jambe, Cikempar dan daerah sekitar pablik gula. Apabila dikaitkan dengan asal-usulnya, Babakan Anyar atau Babakan Sinom merupakan daerah hasil pemekaran dari Desa Karangsambung. Daerah ini pada awalnya merupakan daerah kekuasaan Demang Karangsambung. Tahun 1903 Babakan Anyar sudah bisa menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Daerah ini dipimpin oleh seorang Kuwu bernama

1.Sartam (1903 – 1908) Lalu diteruskan oleh

2.Nerman (1908 – 1910)

  1. Tirtadiwirya (1910 – 1926).

Nama Babakan Anyar sendiri resmi menjadi nama desa pada saat desa ini dipimpin oleh Kuwu 4. Warsita. Kuwu Warsita digantikan oleh Kuwu 5. Emon pada tahun 1942. Namun sayang, Kuwu Emon tewas ditembak tentara Belanda di daerah Monjot ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947. Maklum, di Kadipaten pada saat itu terjadi perlawanan sengit pasukan tiga belas atau pasukan Sindangkasih di Kadipaten. Daerah Babakan Anyar sempat menjadi sasaran tentara Belanda. Kuwu Emon dikenal sebagai orang yang tidak mau kooperatif terhadap Belanda. Setelah Kuwu Emon tewas, Rekomba Belanda akhirnya menunjuk sebagai Kuwu Babakan Anyar. Adalah 6. Wahaab Namun Kuwu Wahab hanya menjabat selama satu tahun karena Belanda harus hengkang dari Indonesia. Kuwu Wahab pada saat itu hanya menjadi antek-antek Belanda.

Kuwu-kuwu Desa Babakan Anyar berikutnya adalah.

  1. Sartam (1903 – 1908)
  2. Nerman (1908 – 1910)
  3. Tirtadiwirya (1910 – 1926)
  4. Warsita ( 1926 -1942)
  5. Emon ( 1942-1947)
  6. Wahaab ( 1947–1948)
  7. Darji (1948 – 1956)
  8. E. Sukatma (1956 – 1961)
  9. Endo Ruspada (1961 – 1962)
  10. S. Abdurochim (1962 – 1970)
  11. M. Komar (1970 – 1980)
  12. E. Katma ( Penjabat 1980 – 1982)
  13. A. aWsta ( Penjabat 1982 – 1984)
  14. A. Rochaman (1984 – 1993)
  15. S. Abdurohim (1994- 1995)
  16. Ede Sukmana ( Penjabat 1995-1998)
  17. Adeng supena (1998-2008) 18.Maman Yuskoto (2008-2013) 19.Suherman (Pejabat 2013) dan sekarang dijabat oleh Kepala Desa Maman Rochatman( 2013 - 2019)

Desa Babakan Anyar memiliki tiga situs atau cagar budaya berupa makam kramat. Terdiri atas makam kramat Buyut siwalan, Buyut Anis, dan Buyut Gabug. Makam Karamat Buyut siwalan terletak di Blok Simpeureum. Makam Kramat Buyut Anis terletak di lokasi yang sama. Sedangkan Makam Kramat Buyut Gabug terletak di Blok Citabo. Lokasinya persis di depan SDN Babakan Anyar. Di desa Babakan Anyar berkembang kesenian reog. Kesenian ini dilestarikan oleh pa Cineur asal Balida. Kesenian Reog adalah pertunjukan seni tabuhan, nyanyian, dan dialog secara spontanitas, kemampuan menari, dan adanya unsur lawakan. Reog sendiri bersala dari kata ruag-rieg yang artinya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Secara filosofis reog menggambarkan suasana kehidupan bersama secara rukun dan damai. Ada istilah sareudeuk saigeul, sabobot sapihanean. *) Instrumen musik reog terdiri atas empat waditra Dogdog yaitu dogdog Enting, Entung, Jongjrong dan dogdong Udeng. Ditambah dengan angklung, gong tiup, ketuk, dan kecrek.

Kelompok atau grup reog terkenal di Babakan Anyar adalah reog si Jeler pimpinan Satim. Si Jeler adalah diambil dari pemain utama grup ini. Grup reog si Jeler pecah menjadi dua kelompok, kelompok ke-2 berposisi di daerah Argapura dipimpin oleh ibu Jeler. Babakan Anyar sekarang dihuni oleh 2260 jiwa penduduk. Suatu jumlah yang sangat tidak sebanding dengan desa tetanggangnya yang mencapai enam kali lipat jumlah tersebut. Hal itu menisbikan atau membiaskan kejayaan Babakan Anyar sebagai daerah yang pernah menjadi kota pelabuhan penting di Jawa Barat.

 

 

 

 

 

DESA KADIPATEN

 

Desa Kadipaten pada awalnya merupakan Desa Liangjulang yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Demang Karangsambung. Desa ini dahulu dinamakan Blok Jatiraga dipimpin oleh seorang tokoh yang ikut dalam penentuan otonomi Liangjulang dari Karangsambung. Tokoh tersebut bernama Mbah Buyut Sipah.

Jatiraga kehilangan pimpinannya ketika pada tahun 1842, Mbah Buyut Sipah meninggal. Ia dimakamkan di Liangjulang. Makamnya kini dinamakan pasarean Mbah Buyut Sipah. Situsnya menjadi makan kramat. Sepeninggal Mbah Buyut Sipah, kantor pemerintahan yang semula di Blok Liangjulang kemudian dipindahkan ke Blok Jatiraga atas hasil musyawarah sesepuh desa dengan Demang Karangsambung.

 

Sebagai simbol atas perpindahan pusat pemerintahan Lingjulang, Demang Karasambung mengadakan pesta rakyat berupa acara penghanyutan sebatang pohon jati. Upacara itu simbol seorang pemimpin yang disegani telah pergi untuk selamanya. Batang pohon jati dinaikan di atas rakit lalu rakit tersebut dihanyutkan di sungai Cilutung dari Liangjulang. Penghanyutan berhasil. Batang pohon jati itu diterima oleh Mbah Purajati dan Mbah Buyut Wirajati. Mereka adalah saudara kembar. Tempat diterimanya batang pohon jati di sekitar Babakan yang kelak disebut Cikembar.

Sekarang daerah itu dinamakan Babakan Cikempar. Setelah meninggalnya dua tokoh Jatiraga itu, situasi dan kondisi desa Liangjulang (Jatiraga) tidak banyak berubah, makam kedua tokoh tersebut dinamakan pasarean Embah Buyut Cikempar. Sebelum meninggal, kedua tokoh tersebut sempat mengadakan acara ritual dengan mengarak sebatang pohon jati mengelilingi alun-alun Jatiraga sebagai "ibukota" desa Liangjulang.

 

Acara itu dimeriahkan dengan pertunjukan kesenian Dog-dog, angklung, bende, dll. Batang pohon jati tersebut kemudian dikawinkan dengan pohon jati yang masih hidup. Mereka melakukan proses perkawinan silang pohon jati sambil membaca do'a memohon perlindungan kepada Tuhan agar masyarakat dan para pemimpinnya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Penamaan Jatiraga sendiri berasal dari proses ritual. Jatiraga mengandung arti "Raga Jati" atau "batang pohon jati".

Sejak tahun 1842, Jatiraga berada di bawah kepemimpinan Kuwu Liangjulang (lihat tulisan tentang Desa Liangjulang) setelah diresmikan menjadi desa definitif sebagai desa Kadipaten pada tahun 1951. Kuwu Desa Liangjulang tetap dijabat oleh E. Enjang.

Sementera Desa Kadipaten dipersiapkan untuk memiliki figur pimpinan. Baru pada tahun 1954, Desa Kadipaten memiliki kuwu pertama bernama Barhawi. Setelah dua tahun menjabat kuwu, Bahrawi digantikan oleh R.P Wiraatmaja yang pernah menjadi kuwu di Desa Liangjulang tahun 1949 - 1950. Pengganti R.P. Wiraatmaja, S. Prayitno hanya dua tahun memimpin karena terlibat G - 30 - S - PKI. S. Prayitno digantikan oleh Moch. Nakim (1965 - 1967), Ito Sasmita (1967 - 1970), Moch. Nakim (1970 - 1971), H.M. Ida Mulya (1971 1984), Machfud (1984 - 1993), Didi Tjahyadi (1993 - 1994), Machfud (1994 - 2002), dan Arnayo (2002 - Hingga terakhir buku ini disusun).

 

Pada masa kolonialisme Belanda, wilayah desa Kadipaten pernah dijadikan lahan pembantaian (killing field). Rakyat Kadipaten yang tak mau bekerjasama atau membangkang kehendak Belanda harus menanggung resiko dipukuli dengan cambuk oleh antek-antek Belanda. Mereka yang loyal terhadap Tanah Air dicambuk di sebuah lapangan kosong (kini areal parkir ruko toko Tujuhbelas). Selain dicambuk, mereka juga diikat pada tali pelana kuda. Mereka yang terhukum harus menahan sakit diseret kuda. Tak heran jika waktu itu masyarakat di daerah Kadipaten takut sekali pada Belanda karena mereka disuruh menonton langsung proses eksekusi semacam itu. Kini Desa Kadipaten terdiri atas dua belas blok atau RW, yaitu Blok Cangkring (Rw 01), Jatiraga Barat (Rw 02), Jatiraga Timur (Rw 03), Gordah (Rw 04), Babakan Cikempar (Rw 05), Teluk Jambe Utara (Rw 06), Teluk Jambe Selatan (Rw 07), Babakan Tipes (Rw 08), Ampera atau blok pasar (Rw 09), Pasar Lawas (Rw 10), Anjun (Rw 11), dan blok Sawala (Rw 12). Jumlah penduduknya mencapai 11.362 jiwa, dengan perbandingan 5647 laki-laki dan 5715 perempuan.

 

Desa Kadipaten termasuk desa terpadat penduduk di Kab. Majalengka. Ditambah dengan banyaknya dari mereka yang tinggal di permukiman padat penduduk seperti Jatiraga Timur, Gordah, dan Teluk Jambe. Desa Kadipaten saat ini sudah menjadi kawasan kota. Tingkat keramaiannya jauh di atas kota Majalengka.

Kadipaten tumbuh menjadi kota kecil yang ramai. Kota ini penuh dengan pernak-pernik kehidupan seperti kehidupan malam yang tidak berhenti hingga dini hari. Banyaknya hotel atau penginapan menjadi indikasi nyata, Kadipaten adalah kota yang pernah menjadi pusat tujuan bisnis orang-orang luar daerah Majalengka seperti Sumedang (furnitur), orang-orang China Tionghoa (perdagangan).

Dahulu, Kadipaten dikenal sebagai kota judi dan prostitusi. Seiring dengan bertambahnya waktu, kota Kadipaten berubah image menjadi kota perdagangan.   Kadipaten berubah image menjadi kota perdagangan.

0 komentar
Whatsapp